hotviralnews.web.id Pakar hukum tata negara Refly Harun menyuarakan pembelaan terhadap Roy Suryo dan rekan-rekannya yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya dalam kasus dugaan penyebaran informasi terkait ijazah Presiden Joko Widodo. Dalam pernyataannya, Refly menegaskan agar pihak kepolisian tidak melakukan penahanan terhadap para tersangka saat pemeriksaan berlangsung.

Menurutnya, penahanan bukanlah langkah bijak dan tidak memberikan manfaat apapun dalam konteks hukum. “Save the tersangka. Tidak ada yang enak ditahan. Roy akan lebih produktif di luar, bisa menjelaskan duduk perkara dan ikut mencerdaskan publik daripada mendekam di tahanan,” ujar Refly di hadapan pendukung Roy dalam sebuah acara deklarasi di Jakarta.

Ia menilai, penetapan tersangka dalam kasus ini berpotensi menimbulkan kesan kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat, yang sejatinya dilindungi oleh konstitusi.


Kronologi Kasus Tudingan Ijazah Palsu

Kasus ini bermula dari dugaan penyebaran informasi terkait keaslian ijazah Presiden Joko Widodo yang sempat ramai di media sosial. Beberapa pihak, termasuk Roy Suryo, mengunggah dan membahas dokumen yang disebut-sebut sebagai bukti ketidaksesuaian antara data akademik dan dokumen resmi milik Presiden.

Kepolisian kemudian menindaklanjuti laporan tersebut dengan alasan penyebaran informasi yang berpotensi menimbulkan fitnah dan kegaduhan publik. Dari hasil penyelidikan, sejumlah orang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk Roy Suryo, dengan tuduhan melanggar pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta fitnah terhadap pejabat negara.

Langkah hukum ini memicu perdebatan luas. Sebagian masyarakat menilai tindakan aparat berlebihan, sementara pihak lain beranggapan bahwa penyebaran informasi yang belum terverifikasi memang harus ditindak tegas agar tidak menyesatkan publik.


Refly: Kasus Ini Harus Dihentikan

Dalam pandangan Refly Harun, kasus tudingan ijazah palsu Jokowi tidak layak dilanjutkan ke proses hukum. Ia beralasan, inti permasalahan ini berada di ranah kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi, bukan pada niat jahat atau penyebaran hoaks.

“Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Kalau setiap kritik atau pertanyaan dijadikan delik pidana, kita kembali ke masa gelap demokrasi,” tegasnya.

Refly juga menegaskan bahwa perdebatan akademik atau publik mengenai keaslian dokumen pejabat negara bukanlah bentuk penghinaan, melainkan bagian dari transparansi dan kontrol sosial terhadap kekuasaan. Menurutnya, bila pemerintah atau aparat menutup ruang dialog tersebut, demokrasi akan kehilangan ruhnya.


Roy Suryo Tetap Tenang dan Siap Menghadapi Proses Hukum

Sementara itu, Roy Suryo mengaku siap menghadapi panggilan pemeriksaan yang dijadwalkan oleh penyidik Polda Metro Jaya. Dalam pernyataannya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki niat untuk menyebarkan fitnah, melainkan hanya menyampaikan pertanyaan publik berdasarkan informasi yang sudah beredar luas sebelumnya.

Roy menilai, pelaporan terhadap dirinya lebih bersifat politis daripada hukum. “Saya tidak pernah membuat tuduhan, saya hanya mengulas dan mempertanyakan data yang beredar. Kalau semua orang dilarang bertanya, di mana letak kebebasan berpendapat kita sebagai bangsa demokratis?” katanya dalam sebuah wawancara singkat.

Ia juga berterima kasih kepada para tokoh dan akademisi yang mendukung haknya untuk berbicara secara terbuka. “Saya percaya hukum masih bisa ditegakkan dengan adil. Selama kita bicara dengan data dan niat baik, tidak ada alasan untuk takut,” ujarnya.


Dukungan Publik dan Seruan Kebebasan Berpendapat

Kasus Roy Suryo dan kawan-kawan memunculkan gelombang dukungan dari masyarakat sipil, aktivis, dan komunitas hukum. Di media sosial, tagar seperti #SaveRoySuryo dan #KebebasanBersuara ramai digaungkan sebagai bentuk solidaritas terhadap para tersangka.

Banyak pihak menilai bahwa aparat penegak hukum seharusnya lebih fokus menegakkan asas proporsionalitas dalam hukum, bukan menggunakan pasal-pasal karet untuk menekan kebebasan warga.

Refly Harun pun mengingatkan agar polisi berhati-hati dalam menafsirkan laporan semacam ini. “Kalau setiap kritik dijadikan delik, maka fungsi kontrol masyarakat terhadap pemerintah akan lumpuh. Demokrasi itu hanya bisa hidup jika rakyat bebas bicara,” jelasnya.


Analisis Hukum: Antara Kritik dan Fitnah

Para pengamat hukum tata negara menilai bahwa batas antara kritik dan fitnah memang tipis, namun perlu diukur dari niat dan konteks penyampaian. Bila seseorang bertanya atau mengkritik dengan dasar informasi publik, tidak seharusnya langsung dikriminalisasi.

Sementara itu, bila terdapat unsur penyebaran data palsu dengan tujuan menyerang reputasi, barulah hukum bisa dijalankan. Dalam kasus Roy Suryo, banyak pengamat berpendapat bahwa yang terjadi adalah ekspresi pendapat, bukan tindak pidana.

“UU ITE sering digunakan secara berlebihan. Mestinya, kritik seperti ini dijawab dengan klarifikasi, bukan laporan polisi,” kata seorang dosen hukum dari Universitas Gadjah Mada.


Demokrasi dan Ketegangan antara Kekuasaan dan Kritik

Kasus ini menjadi potret nyata betapa kebebasan berpendapat di Indonesia masih rentan terhadap intervensi kekuasaan. Ketegangan antara hak warga untuk berbicara dan kewenangan aparat untuk menegakkan hukum kerap menjadi perdebatan klasik yang belum tuntas hingga kini.

Refly Harun menilai, demokrasi yang sehat seharusnya mampu menampung kritik tanpa menjadikannya ancaman. “Pemerintah yang kuat justru yang tidak takut dikritik. Karena kritik itu vitamin, bukan racun,” ujarnya.

Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus memperjuangkan kebebasan sipil. “Kita semua punya tanggung jawab menjaga agar demokrasi tidak mati karena ketakutan,” tambahnya.


Penutup: Hukum, Kebebasan, dan Keadilan

Kasus Roy Suryo menjadi ujian penting bagi sistem hukum Indonesia. Mampukah aparat menegakkan hukum tanpa mengorbankan kebebasan berbicara? Atau justru akan lahir preseden buruk yang membuat masyarakat takut menyampaikan pendapatnya di ruang publik?

Dalam konteks ini, pernyataan Refly Harun menjadi refleksi mendalam: hukum harus digunakan untuk melindungi warga, bukan mengekang. Bila demokrasi hanya hidup di atas kertas, maka bangsa ini berisiko kehilangan salah satu pilar utamanya — kebebasan berpendapat.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarjawa.web.id