hotviralnews.web.id Polemik pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat ke permukaan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan keberatannya dan menilai keputusan itu berpotensi mencederai nilai-nilai keadilan serta fakta sejarah pelanggaran HAM berat yang terjadi selama masa Orde Baru.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut bahwa keputusan tersebut tidak sejalan dengan semangat Reformasi 1998 yang menghendaki pemerintahan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ia menilai, pemberian gelar pahlawan kepada tokoh yang memimpin rezim dengan catatan panjang pelanggaran HAM justru mengaburkan upaya bangsa dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.
“Penetapan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto tidak hanya mencederai cita-cita Reformasi, tetapi juga mengabaikan fakta sejarah dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi selama pemerintahannya,” ujar Anis dalam keterangannya.
Catatan Kelam Era Orde Baru
Masa pemerintahan Soeharto yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade dikenal dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di satu sisi, namun juga diselimuti oleh berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di sisi lain.
Beberapa kasus yang masih membekas di ingatan publik antara lain tragedi Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, kasus penghilangan aktivis menjelang Reformasi, serta kekerasan sistematis terhadap kebebasan pers dan oposisi politik. Selain itu, pemerintahan Orde Baru juga dikenal dengan praktik KKN yang merajalela di berbagai lini birokrasi dan bisnis negara.
Komnas HAM menegaskan, rekam jejak tersebut seharusnya menjadi bahan pertimbangan utama sebelum pemerintah menetapkan status pahlawan nasional. “Tidak adil jika sejarah kelam bangsa ini dilupakan hanya karena alasan politik atau romantisme masa lalu,” tegas Anis.
Reaksi dari Kalangan Aktivis dan Akademisi
Pernyataan Komnas HAM mendapat dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan keluarga korban pelanggaran HAM. Aktivis HAM menilai, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk amnesia sejarah yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
“Negara seharusnya menegakkan kebenaran sejarah, bukan menutupinya dengan penghargaan simbolik. Banyak korban dan keluarga korban yang belum mendapatkan keadilan hingga kini,” ujar salah satu pegiat HAM dari KontraS.
Kalangan akademisi juga menilai bahwa pemberian gelar tersebut akan menciptakan preseden buruk dalam sistem penghargaan nasional. Menurut mereka, gelar pahlawan bukan hanya soal jasa pembangunan ekonomi, tetapi juga soal moralitas, integritas, dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.
Polemik di Kalangan Masyarakat
Isu ini memicu perdebatan di masyarakat. Sebagian pihak yang pro terhadap pemberian gelar pahlawan menilai Soeharto telah berjasa besar dalam membangun fondasi ekonomi Indonesia modern. Mereka berpendapat, di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia mencapai stabilitas politik dan kemajuan infrastruktur yang luar biasa.
Namun, kelompok kontra menegaskan bahwa keberhasilan ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk menutup mata terhadap represi politik dan kekerasan negara. “Pahlawan sejati bukan hanya yang membangun, tapi juga yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,” tulis seorang pengguna media sosial dalam unggahannya yang viral.
Nilai Reformasi dan Tanggung Jawab Sejarah
Komnas HAM menilai bahwa penetapan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dapat mencederai makna Reformasi 1998, yang lahir dari perjuangan rakyat menumbangkan rezim otoriter. Reformasi bukan hanya perubahan politik, tetapi juga koreksi atas penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi selama Orde Baru.
Anis Hidayah menegaskan, bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghadapi masa lalunya dengan jujur. “Kita tidak boleh melupakan penderitaan korban. Mengangkat pelaku pelanggaran HAM sebagai pahlawan sama saja menutup luka sejarah tanpa penyembuhan yang adil,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa pengakuan terhadap korban dan pengungkapan kebenaran sejarah jauh lebih penting daripada penghargaan simbolik kepada tokoh yang kontroversial.
Kriteria Pahlawan Nasional dan Polemik Etika Politik
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, gelar pahlawan nasional diberikan kepada individu yang dinilai memiliki jasa luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan atau pembangunan bangsa. Namun, Komnas HAM menilai bahwa kriteria tersebut harus disertai dengan integritas moral dan rekam jejak hak asasi manusia yang bersih.
“Tidak cukup hanya berjasa secara ekonomi atau politik. Seorang pahlawan harus mencerminkan nilai moral yang luhur dan tidak memiliki catatan pelanggaran terhadap rakyatnya,” ujar Anis.
Polemik ini juga menunjukkan bagaimana politik mempengaruhi interpretasi sejarah. Bagi sebagian kalangan, Soeharto masih dianggap sebagai figur bapak pembangunan. Tetapi bagi yang lain, ia tetap simbol pengekangan kebebasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Seruan untuk Menegakkan Keadilan dan Kebenaran
Komnas HAM menegaskan kembali pentingnya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara menyeluruh. Lembaga ini mengajak pemerintah dan masyarakat untuk menghormati perjuangan korban, bukan menghapusnya dari memori kolektif bangsa.
“Bangsa yang menutup mata terhadap sejarahnya akan kehilangan arah moral. Keadilan hanya akan tercapai jika kita berani berkata jujur tentang masa lalu,” tutup Anis Hidayah.
Pernyataan Komnas HAM ini menjadi pengingat bahwa rekonsiliasi sejati tidak dapat dicapai melalui gelar atau penghargaan, melainkan melalui pengakuan kebenaran dan tanggung jawab moral negara terhadap warganya.
Pada akhirnya, perdebatan mengenai Soeharto bukan hanya tentang sosok seorang pemimpin, tetapi tentang bagaimana bangsa ini menafsirkan masa lalunya. Apakah kita akan mengingat sejarah dengan jujur, atau memilih melupakan demi kepentingan politik sesaat. Bagi Komnas HAM, jawaban yang benar adalah tetap berpihak pada kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarbandung.web.id
