hotviralnews.web.id Rencana pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menimbulkan perdebatan luas. Salah satu suara keberatan datang dari tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus. Ia dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut.

Dalam pandangannya, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional karena selama masa pemerintahannya banyak tokoh ulama, aktivis, dan masyarakat sipil yang mengalami ketidakadilan. Gus Mus menilai, memberi gelar kehormatan seperti itu tanpa melihat sejarah yang sebenarnya justru bisa melukai ingatan kolektif bangsa.

“Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, saya tidak setuju,” ujar Gus Mus di kediamannya di Rembang. Ia menilai, keputusan semacam itu seharusnya mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan moralitas, bukan semata peran politik atau pembangunan yang sering dijadikan alasan oleh sebagian pihak.

Menyinggung Perlakuan Tidak Adil pada Ulama NU

Gus Mus mengingatkan bahwa banyak tokoh Nahdlatul Ulama dan kalangan pesantren mengalami tekanan besar di masa pemerintahan Orde Baru. Ia menyebut, tidak sedikit ulama yang dikriminalisasi atau dibungkam hanya karena memiliki pandangan berbeda. Beberapa organisasi Islam, termasuk NU, sempat mengalami pembatasan ruang gerak di masa itu.

Menurutnya, generasi sekarang perlu memahami konteks sejarah secara menyeluruh sebelum memberikan penilaian. Banyak hal yang terjadi di balik layar pada masa kekuasaan Soeharto yang tidak banyak diketahui publik. “Orang NU yang ikut mendukung gelar pahlawan untuk Soeharto itu tidak paham sejarah,” tegas Gus Mus.

Ia menilai, terlalu banyak luka sejarah yang belum disembuhkan. Pemberian gelar pahlawan tanpa refleksi mendalam justru bisa dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap penderitaan yang dialami para korban kebijakan Orde Baru.

Reaksi Masyarakat terhadap Sikap Gus Mus

Pernyataan Gus Mus langsung menuai beragam tanggapan di media sosial. Sebagian masyarakat mendukung pandangannya, menganggap bahwa sejarah tidak boleh dilupakan. Mereka menilai bahwa penghargaan setinggi Pahlawan Nasional hanya pantas diberikan kepada sosok yang bersih dari catatan pelanggaran kemanusiaan.

Namun, ada pula pihak yang berpendapat sebaliknya. Mereka menilai jasa Soeharto dalam membangun ekonomi nasional, stabilitas politik, dan infrastruktur tidak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa tokoh bahkan menyebut Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” yang telah membawa kemajuan besar bagi Indonesia.

Perdebatan di ruang publik pun semakin menghangat. Diskusi tentang layak atau tidaknya Soeharto diberi gelar pahlawan menunjukkan betapa kompleksnya hubungan bangsa ini dengan masa lalunya.

Sejarah Panjang dan Kontroversi Orde Baru

Masa pemerintahan Soeharto dikenal sebagai periode panjang dalam sejarah Indonesia modern. Selama lebih dari tiga dekade, Orde Baru menekankan stabilitas dan pembangunan ekonomi, tetapi di sisi lain juga meninggalkan catatan kelam tentang pelanggaran hak asasi manusia, pembatasan kebebasan politik, dan dominasi kekuasaan militer.

Banyak peristiwa penting di masa itu, mulai dari pembredelan media, pembungkaman oposisi, hingga pengawasan ketat terhadap organisasi masyarakat sipil. Kaum pesantren dan warga NU, menurut Gus Mus, termasuk yang merasakan dampak langsung dari kebijakan represif tersebut.

Oleh karena itu, menurutnya, pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang berperan besar dalam sistem yang mengekang demokrasi dan kebebasan justru bertentangan dengan nilai-nilai perjuangan bangsa.

Seruan untuk Belajar dari Sejarah

Gus Mus menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak boleh kehilangan ingatan terhadap sejarahnya sendiri. Menurutnya, banyak generasi muda yang saat ini tidak memahami sepenuhnya apa yang terjadi di masa Orde Baru karena narasi sejarah sering kali ditulis sepihak.

Ia mengajak masyarakat untuk lebih kritis dalam melihat tokoh-tokoh masa lalu. Penghargaan kepada seorang pemimpin, katanya, tidak hanya diukur dari lamanya menjabat atau banyaknya infrastruktur yang dibangun, tetapi juga dari cara ia memperlakukan rakyat dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

“Jangan hanya melihat dari satu sisi, kita harus menimbang sejarah secara utuh,” ujarnya. Ia berharap pemerintah lebih bijak dalam menentukan siapa yang layak disebut pahlawan nasional agar tidak menimbulkan luka baru di masyarakat.

Sikap PBNU dan Kalangan Pesantren

Meski pernyataan Gus Mus cukup tegas, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum secara resmi mengeluarkan pernyataan sikap terkait isu ini. Namun, sejumlah tokoh pesantren dan kiai muda di beberapa daerah menyuarakan pandangan serupa. Mereka menilai pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bisa menimbulkan perpecahan di kalangan umat dan membuat sejarah bangsa menjadi kabur.

Sebagian lagi mengingatkan bahwa keputusan semacam itu seharusnya disertai kajian akademik dan sejarah yang mendalam. Tidak cukup hanya karena alasan “jasa pembangunan”, sebab pahlawan sejati adalah mereka yang memperjuangkan rakyat tanpa menindas atau membungkam suara kebenaran.

Refleksi atas Gelar Pahlawan

Isu ini sebenarnya bukan yang pertama kali muncul. Setiap kali nama Soeharto dibicarakan dalam konteks penghargaan negara, selalu muncul pro dan kontra. Ada yang menilai jasanya besar, tetapi ada pula yang mengingat masa kelam yang terjadi di bawah kekuasaannya.

Gus Mus melihat fenomena ini sebagai cermin bahwa bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya berdamai dengan sejarahnya sendiri. Ia mengingatkan bahwa rekonsiliasi tidak bisa dilakukan dengan cara melupakan masa lalu, melainkan dengan mengakuinya secara jujur dan terbuka.

Kesimpulan

Pernyataan Gus Mus yang menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto menjadi suara penting dalam perdebatan publik. Ia menegaskan bahwa sejarah tidak boleh dipelintir demi kepentingan politik atau romantisme masa lalu.

Menurutnya, warga NU dan masyarakat luas harus belajar memahami sejarah secara utuh agar tidak mudah terseret pada narasi yang menyesatkan. Bagi Gus Mus, gelar pahlawan adalah simbol kehormatan tertinggi bangsa yang hanya pantas diberikan kepada sosok yang berjuang demi rakyat, bukan yang menimbulkan luka bagi bangsanya sendiri.

Dengan pandangan ini, Gus Mus mengingatkan bahwa menghormati sejarah bukan berarti mengagungkan masa lalu, melainkan memastikan agar bangsa Indonesia tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Cek Juga Artikel Dari Platform ketapangnews.web.id