hotviralnews.web.id Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, baru-baru ini menyampaikan refleksi jujur mengenai perjalanan hidupnya sebagai pengusaha tambang. Ia mengakui bahwa sebagian besar aktivitas bisnisnya dulu bersinggungan dengan penebangan pohon dan pengelolaan lahan yang meninggalkan jejak serius pada alam. Pengakuan itu ia sampaikan sebagai bentuk kesadaran pribadi, bukan pembenaran.

Pandangan Bahlil terhadap industri tambang kini berubah. Setelah terjun ke dunia pemerintahan dan politik, ia merasa perlu menempatkan isu lingkungan sebagai prioritas. Proses pembelajaran itu membuatnya melihat bahwa praktik pertambangan yang tidak tertata dapat menimbulkan kerusakan besar di masa mendatang.

Dampak Lingkungan yang Baru Disadari Setelah Bertahun-Tahun

Secara gamblang, Bahlil menjelaskan bahwa kegiatan tambang hampir selalu melibatkan pembukaan lahan dengan cara menebang pohon. Aktivitas tersebut dulu ia anggap sebagai konsekuensi bisnis yang wajar. Namun semakin banyak ia belajar, makin jelas pula bahwa hutan yang hilang tidak pernah bisa kembali dalam waktu singkat.

Kerusakan itu ripple effect. Saat tutupan pohon menurun, keseimbangan ekosistem ikut terganggu. Tanah menjadi rapuh, air hujan tidak lagi terserap dengan baik, dan aliran sungai berubah arah lebih cepat. Semua itu berpotensi menimbulkan banjir dan longsor. Kondisi ini, menurutnya, merupakan akibat nyata dari praktik tambang yang dilakukan tanpa perencanaan matang.

Ia menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan sekadar isu teknis. Dampaknya sangat dekat dengan kehidupan manusia. Ketika hutan gundul, alam kehilangan kemampuan untuk menahan perubahan ekstrim. Fenomena yang sering dianggap bencana alam, sebenarnya banyak dipicu oleh aktivitas manusia sendiri.

Perjalanan dari Dunia Usaha ke Ranah Politik

Transformasi cara pandang Bahlil tidak datang secara instan. Pengalamannya sebagai pengusaha memberikan fondasi penting, namun dunia politik membuka perspektif baru. Dalam posisi yang lebih publik, ia melihat langsung bagaimana masyarakat menanggung risiko ketika alam tidak dijaga dengan baik.

Pandangan itu membuatnya semakin memahami bahwa pembangunan tidak boleh hanya berorientasi pada angka ekonomi. Ada sisi sosial dan ekologis yang sama pentingnya. Ia menegaskan bahwa pertumbuhan tanpa perlindungan lingkungan hanya akan menciptakan masalah yang lebih besar di masa depan.

Sebagai seorang pemimpin partai, ia merasa memiliki panggung yang tepat untuk mendorong perubahan. Kesadaran baru itu mendorongnya mengkampanyekan tata kelola tambang yang lebih bertanggung jawab.

Dampak Sosial dari Tata Kelola Tambang yang Buruk

Dalam penjelasannya, Bahlil mengaitkan kerusakan lingkungan dengan beban sosial. Ketika banjir terjadi, bukan perusahaan yang paling dulu terdampak, melainkan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan lereng. Mereka kehilangan rumah, sawah, bahkan akses terhadap air bersih.

Penurunan kualitas lingkungan otomatis memengaruhi kehidupan ekonomi masyarakat. Petani sulit bercocok tanam karena tanah tidak lagi subur. Nelayan terdampak karena daya dukung sungai menurun. Di beberapa daerah, ancaman longsor membuat warga harus mengungsi berulang kali.

Menurut Bahlil, kondisi ini tidak bisa lagi dibiarkan. Ia menilai bahwa regulasi tambang harus memastikan perlindungan bagi masyarakat. Perusahaan perlu mematuhi seluruh kewajiban, termasuk pemulihan lahan dan reklamasi.

Komitmen Baru untuk Menjaga Kelestarian Lingkungan

Dalam kesempatan itu, ia menyatakan komitmen untuk mendorong pendekatan tambang yang lebih berkelanjutan. Teknologi modern, menurutnya, mampu mengurangi pembukaan lahan besar-besaran. Penggunaan alat pemetaan digital dan metode eksploitasi presisi dapat meminimalkan kerusakan hutan.

Selain teknologi, konsep reklamasi harus dijalankan lebih serius. Penanaman kembali pohon wajib dilakukan di setiap area bekas tambang. Langkah ini bukan hanya formalitas administratif, melainkan investasi untuk memulihkan fungsi ekosistem. Tanpa reklamasi, daerah bekas tambang hanya akan menjadi tanah gersang yang tidak mampu menopang kehidupan.

Ia juga mendorong hukuman yang lebih tegas bagi pelanggar. Perusahaan yang tidak mengikuti aturan harus diberikan sanksi yang setimpal. Sebaliknya, perusahaan yang taat dan menjalankan tambangnya dengan standar lingkungan tinggi perlu diberikan apresiasi atau insentif.

Kesadaran Lingkungan Sebagai Tanggung Jawab Bersama

Dalam penutupannya, Bahlil mengajak publik untuk melihat isu lingkungan sebagai pekerjaan kolektif. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus bekerja sama. Tidak ada satu pihak pun yang mampu menjaga bumi sendirian. Kolaborasi menjadi kunci untuk memulihkan lingkungan yang sudah rusak dan mencegah kerusakan baru.

Hutan, menurutnya, adalah sumber kehidupan. Ia menyimpan air, udara bersih, serta habitat berbagai makhluk. Ketika hutan dirusak, seluruh rantai kehidupan ikut terganggu. Karena itu, menjaga lingkungan harus menjadi bagian dari budaya, bukan sekadar kewajiban hukum.

Kesimpulan: Pengakuan Sebagai Titik Awal Perubahan

Pengakuan Bahlil mengenai kesalahannya saat menjadi pengusaha tambang bukan sekadar cerita masa lalu. Ia menjadikannya refleksi dan pengingat bahwa manusia harus berani mengakui kekeliruan agar bisa memperbaiki masa depan. Dari pengalaman itu, ia menyusun pandangan baru tentang pentingnya keberlanjutan.

Kini, dalam posisinya sebagai pemimpin politik, ia ingin memastikan bahwa industri tambang tetap berjalan tanpa mengorbankan kelestarian alam. Pengakuannya menjadi pesan penting: pembangunan ekonomis harus sejalan dengan perlindungan lingkungan.

Cek Juga Artikel Dari Platform dapurkuliner.com