hotviralnews.web.id Aceh Tamiang, wilayah yang berada di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara, tengah berada dalam situasi yang membuat dada sesak. Setelah banjir bandang menerjang pemukiman, yang tersisa sekarang hanyalah fondasi rumah, lumpur setinggi mata kaki, serta kehidupan yang porak poranda.

Siang hari, wilayah ini seperti zona pascabencana. Namun saat malam tiba, suasana berubah menjadi jauh lebih mencekam. Gelap total karena listrik belum kembali menyala. Hanya cahaya redup dari beberapa kendaraan bantuan yang sesekali lewat memecah pekat malam.

Kendaraan Rusak Berjejer di Pinggir Jalan

Di sepanjang bahu jalan utama, pemandangan memilukan terbentang tanpa akhir: puluhan kendaraan pribadi dan roda dua yang ringsek, berkarat, dan dipenuhi lumpur. Beberapa mobil tampak tersangkut dengan sudut aneh — seolah diseret paksa oleh arus air yang tak berbelas kasih.

Ada kendaraan yang masih tampak baru, ada yang jelas-jelas sudah tak lagi berfungsi. Semua ditinggalkan pemiliknya saat banjir memaksa mereka menyelamatkan diri secepat mungkin. Kini, benda-benda itu menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya bencana yang menghantam wilayah ini.

Bau Busuk Menyambut di Setiap Langkah

Bukan hanya lumpur dan air keruh yang menyisakan trauma, tetapi juga bau. Aroma busuk menusuk hidung terlepas dari arah mana pun. Diperkirakan berasal dari bangkai ternak yang tertimbun lumpur, limbah rumah tangga yang meluap, serta sampah yang menggunung di sepanjang jalan dan halaman.

Udara yang seharusnya lembap khas wilayah pesisir, berubah menjadi atmosfer yang tidak nyaman untuk dihirup. Banyak warga terpaksa memakai masker atau kain apa pun untuk menutup hidung, meskipun hal itu tidak sepenuhnya membantu.

Rumah Tinggal Kenangan

Tidak semua warga masih memiliki tempat untuk kembali. Banyak rumah kini hanya menyisakan pondasi atau tiang-tiang miring yang belum roboh sepenuhnya. Perabotan hanyut, foto kenangan hilang, dan kamar yang dulu jadi ruang tidur hangat berubah menjadi tumpukan lumpur dingin.

Sebagian warga berjalan di lokasi rumah mereka yang hilang, mencoba menyelamatkan apa pun yang masih bisa ditemukan: pakaian yang menempel lumpur, sepeda anak yang bengkok, atau kasur yang sudah tak bisa dipakai. Meskipun mereka tahu, sebagian besar yang hilang tak akan kembali.

Malam yang Tak Bersahabat

Gelap yang menyelimuti Aceh Tamiang bukan cuma karena malam hari, tetapi karena pemadaman listrik yang belum dipulihkan. Tanpa penerangan, warga kesulitan bergerak, bahkan untuk sekadar mencari air bersih atau mengamankan sisa barang.

Suara hewan malam menyatu dengan desahan angin dan suara langkah yang pelan. Ketegangan terasa di setiap sudut, karena warga masih takut banjir susulan akan kembali saat mereka lengah.

Pemimpin Daerah Datang Menyaksikan Langsung

Untuk memastikan bantuan segera tersalurkan dan mendengar langsung keluhan rakyat, Gubernur Aceh datang meninjau lokasi terdampak. Ia menyusuri jalan berlumpur, menyapa warga yang masih bertahan, dan memastikan bantuan logistik terus didistribusikan.

Kunjungan itu menjadi secercah harapan bagi warga yang mulai putus asa. Setidaknya ada perhatian, ada janji pemulihan, ada orang yang melihat penderitaan mereka tanpa sekadar membacanya di laporan kantor.

Bantuan darurat seperti makanan siap saji, air minum, selimut, dan obat-obatan terus dibagikan secara bertahap. Warga yang semula kebingungan kini sedikit tenang meski masih dihantui rasa cemas.

Warga Bertahan dengan Kekuatan Tersisa

Meski kondisi sangat buruk, semangat warga tetap terlihat. Mereka saling membantu menyingkirkan lumpur, membersihkan jalanan kecil untuk dilewati, serta menyiapkan posko sederhana untuk mereka yang tak punya tempat pulang.

Beberapa warga memasang tenda darurat, beralaskan terpal atau papan seadanya. Hujan yang masih turun di malam hari membuat sebagian dari mereka tak bisa tidur nyenyak. Namun, mereka tidak punya pilihan selain bertahan.

Anak-anak menjadi kelompok yang paling terdampak, banyak yang trauma dan menangis di tengah kegelapan. Para ibu sibuk menenangkan, sementara para pria mencoba menguatkan diri agar keluarganya tetap merasa aman.

Penutup: Aceh Tamiang Menunggu Pemulihan

Bencana ini telah mengubah wajah Aceh Tamiang dalam sekejap. Jalanan yang dulu ramai kini sunyi, rumah yang dulu menjadi tempat aman kini hanya kenangan. Namun harapan belum padam. Warga yakin, dengan kerja sama pemerintah, relawan, dan seluruh lapisan masyarakat, mereka bisa bangkit kembali.

Pemulihan mungkin membutuhkan waktu lama — berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tetapi bencana ini juga menjadi pengingat bahwa manusia harus hidup berdampingan dengan alam, bukan memaksanya tunduk.

Aceh Tamiang masih mencekam. Tapi di balik kegelapan malam dan bau busuk yang menusuk, ada tekad untuk bertahan dan kembali menata hidup. Karena bagi mereka, pulang bukan sekadar kembali ke rumah, tetapi kembali membangun harapan.

Cek Juga Artikel Dari Platform musicpromote.online