hotviralnews.web.id Banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera menyisakan luka mendalam bagi masyarakat. Rumah-rumah terendam, korban jiwa berjatuhan, dan akses transportasi terputus total. Namun di balik semua itu, mencuat fakta mengejutkan: justru saat masyarakat kesulitan dan fokus bertahan hidup, ada konvoi truk pengangkut kayu gelondongan masih beroperasi bebas di wilayah terdampak.
Melihat video tersebut, politisi Titiek Soeharto tidak bisa menahan emosinya. Ia mempertanyakan mengapa hutan yang seharusnya menjadi pelindung alam justru terus dilucuti tanpa kendali, bahkan saat bencana masih berlangsung.
Luapan Emosi di Meja Rapat
Dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Kehutanan, Titiek menayangkan rekaman yang memperlihatkan truk-truk besar melaju mengangkut kayu berdiameter raksasa. Bukan potongan kayu kecil, melainkan log kayu yang hanya bisa tumbuh selama ratusan tahun.
Ketika berbicara, suaranya dipenuhi rasa kecewa sekaligus kemarahan:
“Sedih. Miris. Marah! Pohon sebesar itu membutuhkan waktu berabad-abad untuk tumbuh. Tapi bisa ditebang begitu saja seolah tidak punya nilai apa pun. Ini hutan kita, paru-paru kita. Apa salahnya sampai harus dibantai seperti itu?”
Titiek menilai peristiwa tersebut bukan kebetulan. Menurutnya, ada praktik pembalakan yang telah berlangsung lama dan dilakukan secara terstruktur, bukan tindakan satu dua individu saja.
Kayu yang Hilang, Pelindung Alam yang Melemah
Bencana alam di Sumatera bukan terjadi tanpa sebab. Hutan yang gundul membuat tanah tak lagi mampu menahan air. Daerah aliran sungai kehilangan vegetasi yang seharusnya menyerap air hujan. Ketika hujan ekstrem datang, tidak ada lagi penahan yang kuat, sehingga air meluap dan merusak pemukiman dalam hitungan jam.
Kayu-kayu yang dibawa keluar itu sejatinya adalah penjaga alam. Ketika mereka ditebang tanpa izin maupun perhitungan lingkungan, itu berarti:
- banjir menjadi semakin sering
- tanah mudah longsor
- satwa kehilangan habitat
- masyarakat menjadi korban
Inilah alasan mengapa Titiek menilai pihak yang menebang pohon secara brutal telah menciptakan bencana ekologis untuk keuntungan sesaat.
Siapa yang Diuntungkan? Siapa yang Dirugikan?
Pertanyaan paling tajam dari Titiek adalah: “Siapa yang memberikan izin?”
Pembalakan liar dalam skala besar hampir tidak mungkin berlangsung tanpa adanya kongkalikong. Ia mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas jaringan tersebut: mulai dari aktor lapangan hingga dalang besar di baliknya.
Hutan bukan aset pribadi, melainkan milik negara dan generasi mendatang. Titiek menilai jika penebangan itu dilakukan secara ilegal, maka para pelaku telah merampok masa depan rakyat Indonesia.
Sementara masyarakat kecil menanggung akibatnya — kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan sanak keluarga — pihak-pihak yang merusak lingkungan justru melenggang bebas.
Keberanian untuk Menghentikan Kerusakan
Dalam kesempatan itu, Titiek mendesak pemerintah agar tak lagi memberi ruang kepada pelanggar lingkungan. Ia meminta agar seluruh izin perusahaan yang terbukti berkontribusi pada kerusakan hutan dicabut dan pelakunya diseret ke meja hukum.
Menurutnya, sudah terlalu sering bencana terjadi akibat deforestasi. Namun sanksi yang dijatuhkan sering tak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Padahal, negara punya kewenangan penuh untuk menghentikan praktik tersebut.
Penegakan hukum yang lemah hanya akan membuat pelaku semakin berani dan bencana semakin besar.
Banjir Hanya Gejala, Akar Masalah Ada di Hutan
Titiek menegaskan bahwa banjir bukan musuh utama. Hujan adalah fenomena alam yang wajar. Masalah sebenarnya adalah ketika alam kehilangan pertahanan diri, ketika manusia dengan rakus menebangi pohon yang menjadi penyangga alami kehidupan.
Ia menambahkan bahwa hutan yang sehat adalah pilar penting keselamatan bangsa. Di dalam hutan, terdapat:
- sistem penahan banjir
- penjaga kestabilan iklim
- sumber kehidupan masyarakat adat
- habitat keberagaman hayati
Jika semua itu dihancurkan, maka bencana akan datang silih berganti.
Seruan untuk Menyelamatkan Hutan Indonesia
Akhir kata, Titiek mengajak semua pihak — kementerian, aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan masyarakat — untuk bersatu menghentikan kerusakan alam. Ia menegaskan bahwa memperbaiki kerusakan jauh lebih sulit dan mahal daripada mencegahnya.
Indonesia memiliki hutang besar kepada alam. Jika kerusakan terus terjadi, maka generasi mendatanglah yang akan membayar paling mahal.
“Jangan tunggu bencana berikutnya,” tegasnya.
“Jangan biarkan hutan tinggal nama dalam cerita sejarah.”

Cek Juga Artikel Dari Platform wikiberita.net
